Dua Hal yang Harus Dilakukan untuk Mewujudkan Revolusi Mental di Sekolah
Saya sedang duduk di angkot, hendak pulang ke rumah kontrakan setelah seharian mengisi pelatihan. Udara di luar panas. Tapi disini, di angkot yang terus melaju perlahan, panas itu seperti pergi entah kemana. Raib seperti api yang disiram air.
Saya sempat membaca sebuah novel yang kebetulan saya bawa. Hingga kemudian, sebuah obrolan dari dua penumpang yang ada di belakang, mampir ke telinga.
“Gimana hubungan Elu sama Bunga?” Tanya salah satu dari mereka. Saya sempat melirik melalui spion, mereka berdua masih anak sekolah, mungkin SMA. Seragam mereka mengabarkan demikian.
“Baik-baik aja.”
“Semakin hangat ya? Ngomogn-ngomong, udah ngapain aja?”
Nah, pertanyaan inilah yang membuat saya memutuskan menutup buku yang saya baca, menyimpannya kembali ke dalam tas. Pertanyaan tadi, membuat daun telinga saya mengembang lebar, berharap bisa mendengar percakapan mereka lebih jelas.
“Ya kayak orang pacaran aja lah. Nggak ngapa-ngapain, kok.”
“Masa, sih?”
“Iya, gue sama Bunga nggak ngapa-ngapain. Yah, paling banter hanya ciuman dan pegang-pegang dikit lah.”
Mereka berdua tertawa dan saya diam. Sedangkan sopir angkot tak memperhatikan sama sekali percakapan saru di belakang, sibuk memperhatikan jalanan yang tak karuan, berlubang, banyak kendaraan, kebut-kebutan seperti tak tahu aturan.
“Tanggung banget Lu! Kenapa nggak sekalian aja Elu embat si Bunga? Ajak ke hotel kek, atau kemana gitu.”
“Nggak berani, Bro!” orang kedua yang jadi sasaran pertanyaan menjawab sambil mengibaskan tangannya, “Entar kalau sampai hamil kan berabe.”
“Alamak, jaman sekarang udah aman, cuy! Elu tinggal ke apotek, beli kondom dan pakai deh. Selesai. Si Bunga nggak bakalan hamil!”
Seperti mendapat angin segar, orang kedua itu kemudian bertanya balik, “Elu udah pernah nyoba?”
“Udah lah!” katanya bangga. “Jaman sekarang, kalau pacaran cuma jalan berdua, ciuman, dan makan doang, mah, mending jadiin temen aja. Nggak keren!”
Temannya diam, tidak berkata apa-apa.
“Udah, nggak usah takut. Kalau pakai kondom, Bunga nggak bakalan hamil!”
Dan percakapan itu berlanjut hingga beberapa meter di depan. Mereka turun dan membayar ongkos. Pergi menghilang entah kemana.
***
“Itu si Ujang, tokcer pisan euy!” celoteh seorang Bapak di warung kopi. Sebut saja namanya Deden. Ia sedang bercakap-cakap dengan pemilik warung yang bernama Cecep.
“Kunaon kitu, mang?” tanya Cecep dengan logat Sundanya yang masih kental.
“Itu, baru tiga bulan menikah, istrinya sudah melahirkan aja.”
“Biasalah, mang. Anak-anak jaman sekarang, pacarannya kelewatan.”
Ujang dan Indah menikah beberapa bulan lalu. Mereka masih remaja. Saya mengenal Indah karena tempat tinggalnya tak jauh, berselang beberapa rumah saja. Pernah, ketika malam hari sepulang beraktivitas di kampus, saya melihat dia dan pacarnya di pinggir jalan, di bawah pohon yang remang-remang, di atas motor berduaan.
Saya kaget, ketika tetangga sekitar kontrakan berdengung, menyebarkan berita bahwa Indah akan menikah dan tak menyelesaikan sekolahnya.
“Indah sudah hamil!”
“Lagian, pacarannya nggak ngerti aturan sih!”
“Kalau sudah begini, yang malu kan orang tuanya.”
Begitu celotehan mereka, menanggapi kabar pernikahan Indah yang mendadak. Mereka menyayangkan, masa depan yang seharusnya bisa lebih baik, malah dirusak oleh kesenangan sesaat.
***
“Kami dapat kunci jawaban, Kak!” kata salah satu murid saya dulu.
“Terus, kalian memakainya?”
“Tergantung, jika kepepet ya dipakai. Tapi semoga saja nggak.”
Saya tersenyum getir, dalam hati berharap agar pemerintah bisa lebih peka akan hal ini, bahwa Ujian Nasional, hingga saat ini banyak menimbulkan efek tak baik bagi siswa. Mereka menghalalkan segala cara, demi sebuah kata LULUS. Sebuah hal yang sangat kontraproduktif dengan tujuan pendidikan, menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa sesuai keyakinan dan agamanya.
“Lebih baik jangan digunakan.” Saya menasihati, “Percaya deh, Ujian Nasional itu mudah. Tingkat kesulitannya tak seberapa. Kalah jauh dengan soal-soal yang sering saya berikan. Maka jika selama pembelajaran kalian bisa melakukan dengan baik, apatah lagi Ujian Nasional yang tak seberapa itu!”
“Jika mudah, mengapa banyak siswa yang nggak lulus, Kak?”
“Banyak faktor yang membuat mereka tak lulus. Seperti ketakutan dan kurang belajar. Banyak kan, siswa yang belum apa-apa udah cemas duluan, khawatir nggak lulus. Padahal, jika dia bisa tenang, lalu belajar dan mempersiapkan diri dengan matang, insya Allah semuanya bisa dilalui dengan baik.”
“Asal kalian belajar sungguh-sungguh, mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari, maka semuanya akan berjalan mulus. Nanti, ketika mengerjakan Ujian Nasional, tenanglah, jangan cemas dan jangan tergesa-gesa.”
Kelas sore itu, akhirnya ditutup dengan sebuah komitmen bahwa mereka tak akan menggunakan kunci jawaban yang mereka dapatkan. Walau pada kenyataannya, saya pun tetap tak bisa memastikan apakah benar atau tidak. Yang pasti, saya sudah mengupayakan dengan segala daya, menanamkan nilai-nilai yang baik kepada mereka, bahwa kecurangan bukanlah pilihan bijak untuk menggapai kelulusan.
***
Tiga potong kenangan di atas adalah sedikit kejadian tentang betapa karakter generasi kita semakin memprihatinkan. Tentu saja, masih banyak kejadian yang lebih mengenaskan, semisal tawuran yang telah merenggut belasan nyawa, hamil di luar nikah lalu berhenti sekolah, pencurian dan pembunuhan, hingga pemakaian narkoba dan obat-obatan terlarang.
Berdasarkan beberapa fakta ini, maka sejak sepuluh tahun terakhir, pemerintah menerapkan sistem pendidikan karakter. Sistem ini bertujuan menanamkan nilai-nilai kebaikan pada kehidupan anak-anak bangsa, agar bisa menjadi manusia yang dapat diandalkan. Mereka adalah calon pemimpin, penerus estafet peradaban, maka jika sejak awal karakter mereka keropos, boleh jadi beberapa tahun lagi, negeri ini bisa berantakan.
Untuk itulah pendidikan karakter menjadi penting. Dan lagi, ini sesuai dengan apa yang dicita-citakan Jokowi dengan Revolusi Mentalnya. Bahwa generasi kita harus di perhatikan, terutama pendidikan moral dan akhlaknya. Buat apa pintar jika jiwa dan nilai-nilai kehidupannya justru minus, tak bisa diharapkan.
Nah, untuk mengatasi itu, maka ada beberapa hal yang sebenarnya bisa dilakukan di sekolah.
Melakukan Upgrading Guru
Bagi saya, guru adalah ujung tombak pendidikan. Mereka penentu keberhasilan, bukan sarana dan prasarana, bukan gedung, juga bukan yang lainnya. Asalkan sebuah sekolah memiliki guru yang mumpuni dalam pengajaran, maka saya yakin sekali output yang dihasilkan pun bisa membanggakan.
Hal ini terbukti pada pemimpin-pemimpin kita dahulu. Mereka sekolah di tempat yang seadanya, minim sarana dan prasarana. Tapi bisa berhasil dan menakjubkan. Karena apa? Tentu disebabkan pengajar-pengajar yang berkualitas dan ikhlas.
Mengingat pentingnya kualitas guru, maka untuk mewujudkan revolusi mental yang dicanangkan oleh Jokowi di sekolah, perlu dilakukan peningkatan mutu dan kualitas pengajaran.
Sudah selayaknya sekolah melakukan evaluasi berkala, menilai setiap guru, lalu melakukan beberapa pelatihan yang bisa meningkatkan kesadaran dan kemampuan mereka dalam mengelola kelas dan pembelajaran. Pelatihan-pelatihan itu semisal manajemen kelas, display ruangan, pelatihan alat peraga, hingga pelatihan tentang penelitian tindakan kelas.
Guru yang baik adalah guru yang senantiasa belajar, tidak cepat puas, dan terus membaca banyak hal. Meningkatkan wawasan akan perkembangan ilmu pengetahuan agar bisa tetap berwibawa dan tak ketinggalan jaman.
Tak kalah penting, seorang guru seharusnya melek teknologi. Mereka seharusnya paham media sosial yang beberapa tahun belakangan berkembang. Sekarang, semua siswa telah memiliki akun di facebook, twitter, instagram atau media sosial lainnya.
Dan bagi seorang guru, setidaknya pun harus memiliki akun di salah satu media sosial. Hal ini dilakukan agar ia bisa tetap keep in touch dengan semua peserta didik dan tak dianggap ketinggalan.
Siswa kita sekarang, bisa dengan mudah mengakses internet, mencari beragam informasi disana. Maka jika guru tak banyak mencoba, bisa dipastikan mereka bisa dianggap tak ada oleh semua siswa.
Selain terus-menerus belajar, seorang guru juga seharusnya memiliki integritas yang tinggi dan bisa menjadi role model. Mereka adalah teladan yang baik bagi peserta didik. Maka pelatihan tentang akhlak dan karakter menjadi sangat penting dan harus senantiasa dievaluasi.
Jangan sampai, seorang guru yang seharusnya menjadi teladan malah memberikan contoh yang tak baik di sekolah. Semisal merokok, mengajarkan anak-anak pacaran, atau membuang sampah sembarangan. Semua itu tentu akan sangat kontraproduktif dengan revolusi mental yang sedang digembar-gemborkan.
Mengedukasi Orang Tua
Orang tua juga memiliki peran penting dalam keberhasilan pendidikan. Keduanya, orang tua dan guru, harus saling bekerja sama dalam pembentukan karakter siswa. Maka, penting sekali diadakan kegiatan parenting, mengedukasi orang tua agar bisa lebih baik mendukung pembelajaran dan penanaman nilai-nilai pada anak-anaknya.
Kegiatan parenting bisa dilakukan tiga bulan sekali. Sekolah mengundang orang tua dan memberikan seminar. Sekolah bisa juga melakukannya dengan memanggil beberapa orang tua dan melakukan diskusi personal.
Setidaknya, revolusi mental bisa dilakukan dengan baik jika dua komponen ini saling bekerja sama, sekolah dan rumah. Guru dan orang tua. Selanjutnya, tentu saja peran pemerintah dibutuhkan, semisal lebih ketat mengawasi tayangan-tayangan yang ada di televisi, lebih serius membenahi sistem pendidikan, hingga edukasi-edukasi kepada masyarakat melalui beberapa media.
Negara ini, tak bisa dibenahi oleh segelintir orang saja. Semua elemen harus bergerak. Dan jika semua itu dilakukan, maka tak menutup kemungkinan, Indonesia yang lebih berwibawa dan maju akan terwujud di masa depan.
Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)