MEA dan Kemandirian Ekonomi
Tahun 2015 ini adalah tahun yang ditargetkan dimana ASEAN menjadi ”pasar tunggal”, yang memungkinkan mobilitas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal akan bebas bergerak. Ia memuat ambisi pembentukan ASEAN sebagai pusat perdagangan kawasan yang terintegrasi.
Di prediksi, pasar dan basis produksi menjadi tunggal dan tersentralisasi, ekonomi kawasan yang sangat kompetitif, serta suatu kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Dan dunia tak menutup mata bahwa kepulauan Asia Tenggara kini menjadi pusat perdagangan dunia pasca bergesernya poros dari Atlantik ke Pasifik.
Untuk pertama kalinya sejak permulaan abad ke -16, konsentrasi perekonomian dunia tak lagi ditemukan di Eropa, bukan pula di Amerika, melainkan di Asia. Beberapa pemikir Geopolitik dari Eropa dan Amerika menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of the Atlantic era”. Dimana menurutnya kini fokus analisa geopolitik telah bergeser dari Eropa ke Asia. Karena itulah posisi Samudera Pasifik dan Samudera India menjadi kian signifikan dalam konstelasi geopolitik di abad 21 ini.
Bahkan lebih dari sekedar fitur geografis. Wilayah Samudera Hindia yang meliputi seluruh busur Islam dari Gurun Sahara sampai ke kepulauan Indonesia, adalah sebuah “ide” yang menggabungkan sentralitas Islam dengan politik energi global serta bangkitnya India dan China dalam dunia yang multipolar.
Kawasan ini juga dipenuhi oleh sayap-sayap maritim Teluk Persia dan Samudera Hindia yang menyusun rangkaiannya ke negara-negara kepulauan Asia Tenggara, dikelilingi oleh pesisir luas daratan Asia dan kekuatan kontinental Amerika Serikat, Rusia dan Cina.
Ahli strategi Belanda Nicholas Spykman berkata bahwa daerah pesisir lautan India dan Pasifik adalah kunci untuk dominasi di Eurasia. Tak hanya Spykman, Alfred Thayer Mahan menyebutnya “engsel dari takdir geopolitik”.
Di sebabkan karena kedua samudera ini akan memungkinkan sebuah “negara maritim” untuk memproyeksikan kekuatannya di sekitar lingkaran tepi Eurasia, sehingga kekuatannya mampu mempengaruhi perkembangan politik dunia. Pemikiran Mahan membantu menjelaskan mengapa Samudera India akan menjadi jantung dari persaingan geopolitik di abad ke-21 dan itulah sebabnya mengapa pemikirannya sekarang membuat gusar kalangan ahli strategi Cina dan India.
Karena dari beberapa prediksi, Indonesia selalu tampil sebagai kekuatan potensial. Cerita lama tentang kejayaan Majapahit membuat Negeri Hindia ini menjadi pusat perhatian. Dan dunia segera mengepung kita. Robert D. Kaplan menyebut Indonesia sebagai the heart of Maritime Asia, dengan Selat Malaka yang merupakan choke point paling vital dalam perdagangan dunia saat ini, dimana Selat ini telah mempertemukan Samudera India dan Pasifik Barat.
Mungkinkah kita mampu memanfaatkan takdir geopolitik ini?
Tak menutup kemungkinan, kekuatan negara-negara besar pasti terus mencoba berkompetisi menanamkan pengaruhnya untuk mengamankan kepentingannya di Indonesia. Sehingga hal ini menjadi tantangan bagi kedaulatan nasional. Tantangan akan semakin kompleks, akibat kontestasi global di antara dua samudera ini.
Dan hampir 70% total perdagangan dunia saat ini berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik, yang idealnya Indonesia di untungkan akan hal ini. Namun adanya perdagangan bebas seringkali tak menguntungkan bagi kita. Terutama jika kita tak mampu menjadi pemasok bagi kebutuhan produk vital, seperti pangan. Mau tak mau, kita akan semakin menjadi bulan-bulanan dari kekuatan global. Dan kini kita menjadi negara konsumen sejati.
Yang berlaku hanyalah prinsip “pembeli tertinggi adalah pemenang”. Dan sebagian besar penduduk kita adalah “si miskin”, maka gambar yang tampil tentu saja oligarki ekonomi. Di lain sisi, ketakhadiran Negara dirasakan sampai di lorong-lorong kehidupan. Dan pejabat pemerintah justru sibuk menjadi “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, atau sumberdaya apa saja yang bisa ditawarkan kepada investor.
Bahkan para pejabat lebih suka menggunakan kekuasaan birokrasinya untuk meneguk untung sendiri atas ekonomi rente dan sangat bergantung pada modal asing. Sehingga kondisi demikian menjadi hambatan yang serius bagi kelangsungan pembangunan kekuatan ekonomi. Habitat yang tak mendukung bagi terciptanya masyarakat yang mampu mengembangkan produktivitas ekonomi, efektifitas, dan efisiensi.
Padahal dalam perdagangan bebas, tak ada tindakan yang bersifat for its own’s sake. Hidup adalah pacuan, dan karena itu terberkatilah si cepat! Yang paling produktif dan efisien lah yang akan menjadi pemenang.
Untuk itu perlu di bangun sebuah interaksi baru antara Negara, Pasar dan masyarakat. Sehingga tak lagi ada dominasi pasar atas negara dan kehidupan publik. Tak ada pula, “perselingkuhan” antara pemerintah dengan pemilik modal yang membangun aliansi, membentuk “pakta dominasi” yang membuat masyarakat tak berdaya apa-apa. Seolah-olah hidup mati Negara tergantung pada kesuksesan para cukong dan pemburu rente.
Pemerintahan yang menjadi ladang peternakan pemburu rente tak lagi relevan dengan perkembangan situasi global. Pemerintahan yang demikian, menjadikan Negara sebagai alat kelompok kepentingan bukan alat untuk menyejahterahkan rakyatnya. Sehingga peran pasar menjadi sangat dominan, birokrasi pemerintahan menjadi despotik dan rakyat menjadi lemah tak berdaya. Seluruh ranah eksistensi manusia di mangsa habis oleh pasar. Negara tak berperan hingga akhirnya masyarakat menjadi seperti kuburan, yang hidupnya di rundung kebisuan dan pembodohan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)