Skema Kemandirian Ekonomi dalam MEA
Tagline “Kemandirian Ekonomi Indonesia” menjadi tagline utama program ekonomi pemerintahan Jokowi-JK. Tagline inipun tertuang dalam Nawacita dimana menjadi landasan bagi program-program pemerintah. Kemandirian Ekonomi di sini dapat diartikan bahwa Indonesia harus bisa terlepas dari ketergantungan negara lain dalam bidang ekonomi baik ketergantungan barang impor jadi maupun bahan baku. Tujuan akhir pemerintahan adalah produksi terutama komoditas pokok nasional, seperti beras, tanaman holtikultura, dan bahan baku penting lainnya, tidak lagi impor. Harus bisa disediakan sendiri dari dalam negeri.
Lantas, dalam perekonomian yang tergerus globalisasi, apakah tagline tersebut masih bisa diterima? Apakah benar Indonesia tidak akan tergantung kepada negara lain?
Salah satu tantangan berat untuk membuktikan tagline tersebut masih relevan dengan kondisi sekarang adalah kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana akan dimulai pada akhir tahun ini, tidak lebih dari setengah tahun untuk persiapan. Kemandirian Ekonomi Jokowi-JK akan diuji dengan serbuan barang maupun jasa dari negara ASEAN lainnya. Persaingan di pasar domestik akan semakin meningkat. Siapkah Indonesia?
Kesiapan industri ataupun pemerintah Indonesia dalam menghadapi MEA jauh dari kata ideal. Jangan bicara kemandirian di tingkat global, di tingkat regional pun banyak yang meragukannya. Pemerintah Indonesia dari mulai menandatangani kesepakatan ini hingga sekarang belum nampak persiapannya. Jauh dengan negara lain dimana sudah memulai ancang-ancang. Seperti kesiapan tenaga kerja Thailand yang belajar Bahasa Indonesia. Thailand mengetahui bahwa Indonesia adalah sasaran empuk bagi pekerja dari Thailand, karena pasar yang begitu besar.
Sedangkan pemerintah Indonesia terutama saat ini masih berkutat di persiapan-persiapan yang dasar. Masalah-masalah krusial belum dilihat atau diantisipasi oleh pemerintah. Setidaknya ada 4 masalah krusial yang dapat atau pasti terjadi jika tidak adanya persiapan yang matang dari pelaku usaha maupun pemerintah. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia akan menghadapi persaingan yang ketat dengan produk dari negara lain. UMKM di Indonesia seakan dibiarkan berjalan sendiri tanpa bantuan dari pemerintah. UMKM Indonesia masih lemah dalam hal permodalan, pemasaran, efisiensi produksi hingga pengaturan keuangan.
Dampak yang dapat terjadi adalah banyak UMKM Indonesia yang gulung tikar. Padahal UMKM Indonesia merupakan unit usaha yang selamat dari krisis ekonomi 1998. Gulung tikarnya UMKM akan menyebabkan pengangguran akan semakin bertambah. Tahun 2013 pekerja di sektor UMKM mencapai 96,99 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Selain itu, perekonomian sangat ditopang UMKM dimana 99,99 persen usaha berbentuk UMKM dan menyumbang lebih dari 50 persen terhadap PDB. Kondisi tersebut harus dihindari oleh pemerintah.
Kedua, produk pertanian Indonesia kalah bersaing dengan produk pertanian di ASEAN. Produk pertanian, terutama bahan pokok (beras, jagung, bawang, dll) tidak dapat bersaing dengan produk negara ASEAN lainnya. Thailand menjadi penantang serius Indonesia dalam hal pertanian. Pertanian di sana sudah dipersiapkan secara matang. Hasilnya Thailand menjadi salah satu pengekspor besar terbesar dunia.Dampak yang paling terasa adalah kesejahteraan petani semakin menurun yang ditunjukkan dengan Nilai Tukar Petani (NTP) yang semakin menurun. Akibatnya tidak insentif bagi petani dalam berproduksi.
Ketiga, Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia belum cukup siap dalam bersaing dengan tenaga kerja negara ASEAN lainnya. Mayoritas kualitas tenaga kerja Indonesia masih rendah. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia yang masih didominasi oleh pekerja tamatan SMP ke bawah. Data dari BPS menyebutkan bahwa 62,95 persen tenaga kerja merupakan tamatan SMP atau ke bawah.Ketidaksiapan SDM akan berakibat pada semakin derasnya arus tenaga kerja yang masuk ke Indonesia. Porsi tenaga kerja domestik akan semakin minim. Pengangguran akan semakin meningkat terlebih dengan adanya bonus demografi yang dialami Indonesia. Bonus tersebut akan berubah menjadi bom demografi.
Keempat, infrastruktur dasar untuk perindustrian sangat minim. World Economic Forum dalam laporan nya yang bertajuk Global Competitiveness Report 2014-2015, menempatkan peringkat Indonesia di peringkat 72 dari 144 negara, jauh dari peringkat Malaysia (20). Bahkan pelabuhan, dimana menjadi jantung dari sistem distribusi, peringkat Indonesia lebih buruk (77) kalah dengan Singapura (2), Malaysia (19), dan Thailand (54).Kondisi infrastruktur ini akan menyebabkan investor akan lebih memilih Thailand maupun Malaysia untuk menanamkan modalnya. Terlebih di Malaysia, kawasan industrinya jauh lebih maju jika dibandingkan dengan Indonesia.
Keempat kesiapan seperti yang dijelaskan di atas merupakan indikator utama dalam mengukur kemandirian ekonomi nasional di tengah arus globalisasi.
Menjaga Asa di Detik Akhir
Kemandirian Ekonomi Pemerintahan Jokowi-JK terancam tidak akan terwujud jika melihat dari ketidaksiapan pemerintah dalam bertarung di era globalisasi ini. Dikahwatirkan ketidaksiapan tersebut membawa Indonesia semakin terpuruk di tengah kondisi ekonomi yang masih lesu. Ada 3 dampak serius jika pemerintah tidak melakukan exit strategy dari kondisi saat ini. Pertama, perkuat UMKM dengan bantuan permodalan, standarisasi produk, dan manajerial UMKM. Bantuan permodalan UMKM dapat dilakukan melalui kebijakan kredit program, asuransi kredit, dan program lainnya. Bantuan permodalan ini harus dikhususkan untuk menambah daya produksi sehingga pada nantinya produksi akan efisien.
Standarisasi produk UMKM bertujuan untuk menyediakan produk UMKM yang berkualitas. Rata-rata produk UMKM masih belum terstandarisasi. Akibatnya produk UMKM kita kalah bersaing dengan produk usaha besar domestik maupun produk negara lain. Belum adanya bantuan dan sosialisasi dari pemerintah menjadi salah satu alasan kenapa banyak produk UMKM masih belum terstandarisasi.
Kemampuan manajerial UMKM di Indonesia rata-rata masih rendah. Sistem manajerial sebagian besar UMKM masih dilakukan secara kekeluargaan dan tradisional. Pencatatan keuangan, pembagian tugas, dan pola pemasaran terkesan “seadanya”. Peningkatan kemampuan manajerial tersebut akan mendorong UMKM untuk berkembang lebih profesional dan lebih efisien dalam sistem manajerial.
Kedua, percepatan pembangunanindustri yang berbasis nilai tambah. Industri yang dibangun adalah industri yang mampu menyerap tenaga kerja Indonesia. Salah satu contohnya adalah agribisnis dimana sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Contoh lainnya adalah barang tambang seperti nikel, emas, gas alam, dan lainnya. Pemerintah harus berkeras kepada investor asing untuk membangun smelter di Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah menambah nilai tambah barang tambang ketika diekspor.
Ketiga, perkuat kualitas SDM dengan cara formal maupun nonformal. Cara formal yaitu melalui pendidikan. Salah satu strategi yang dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sekolah menengah kejuruan (SMK). Sekolah ini berpotensi dapat mencetak tenaga kerja yang sudah siap bersaing. Tentu masyarakat masih ingat mengenai mobil SMK di Solo yang gemanya ke seluruh Indonesia. Cara pendidikan nonformal dapat melalui pelatihan-pelatihan diperuntukkan kepada tenaga kerja maupun calon tenaga kerja. Upaya ini dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun gabungan keduanya.
Upaya-upaya tersebut tentu tidak akan berhasil tanpa ada keseriusan pemerintah dalam menghadapi MEA. Pemerintah harus diingatkan pintu gerbang MEA akan dibuka hanya dalam hitungan bulan. Jangan sampai tagline “Kemandirian Ekonomi Indonesia” gagal pada ujian pertamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)