Menggebrak Sistem Lama Pendidikan dengan Menggali Potensi Anak Bangsa Sedari Dini
OLEH : RADEN DINI APRILIA
Ada satu hal yang “lucu” jika kita memandang wajah pendidikan di negeri ini lantas mengkorelasikan impian untuk menjadikannya negeri yang maju dan sejahtera. Ada satu hal “lucu” ketika mengingat betapa kayanya bangsa ini dengan sumber daya alam, namun impian menjadi bangsa yang sejahtera dan berdikari terasa begitu utopis. Impian-impian negeri ini bergerak ke arah yang lebih baik pasti hanya akan menjadi mimpi tanpa realisasi jika sistem pendidikan tidak segera dibenahi. Ada berbagai aspek untuk menciptakan sebuah negara yang hebat dan mandiri, namun pendidikan merupakan aspek pertama dan utama yang harus diperhatikan.
Melalui pendidikan,lahirlah manusia-manusia yang dapat berpikir tentang hakikat hidup di dunia. melalui pendidikan akan lahir manusia-manusia yang menjadi asset terbaik bangsa, dapat mengelola negerinya beserta kekayaan yang ada di dalamnya. Melalui pendidikan akan lahir manusia-manusia berkualitas yang secara sadar akan mencintai negerinya dan berjuang menjadi agen perubahan yang membawa negerinya ke arah yang lebih baik. Bahkan kemerdekaan yang diperoleh bangsa ini merupakan hasil dari pendidikan yang melahirkankan para cendekiwan dengan jiwa nasionalis yang tinggi.
Dahulu, kemerdekaan Indonesia bagai suatu impian yang hanya menjadi mimpi. Negeri ini terjajah bangsa lain selama tiga setengah abad lebih, meskipun seluruh perlawanan fisik telah dikerahkan hasil yang didapat hanya kesia-siaan. Kemerdekaan bagai suatu keinginan yang paling utopis dan mustahil. Namun kini, setelah kemerdekaan berhasil dicapai, banyak orang-orang pesimis bahwa bangsa ini dapat menjadi bangsa yang besar dan negeri yang sejahtera. Seakan-akan negeri yang kaya raya ini sedang dirantai dengan kuat dalam ‘jerat lingkaran setan’ sehingga tidak dapat melepaskan diri apalagi keluar.
Sekarang, ingatlah kembali sejarah, seperti apa yang dikatakan Bapak Proklamator, Ir Soekarno, ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah!’ ingatlah kembali bagaimana negeri ini dapat terlepas dari penjajahan. Ingatlah kunci yang telah berhasil membuka pintu kemerdekaan pada bangsa ini. Ingatlah bahwa kunci itu yang bernama pendidikan.
Pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah, pedidikan seperti apa yang dapat melahirkan bunga-bunga bangsa berkualitas tinggi , baik dari segi kemampuan maupun etos kerja. Sudah sejauh mana etos kerja yang dimiliki bangsa ini? Renungkanlah sebuah ilustrasi tentang realita yang kerapkali terjadi di negeri ini.
Suatu hari, seorang ayah menonton televisi dan menyaksikan berita tentang para politisi bermental bejat pemakan uang rakyat dengan tulisan koruptor besar-besar pada ‘jidat’ dan ‘seragam’ mereka yang mencolok. Si anak kebetulan ada di sampingnya sedang sibuk pada sesuatu yang dikerjakannya.
“nak,lihat! Jika sudah besar kamu jangan seperti itu.” Ucap sang ayah yang masih bersungut-sungut dengan sumpah serapah terhadap para koruptor di televisi.
Sang anak hanya menatap sekilas dan kembali memusatkan perhatian pada apa yang dikerjakannya. Terbersitlah rasa penasaran dalam diri si ayah yang kemudian melirik apa yang dilakukan anaknya. Ternyata anaknya sedang menggambar dengan sangat takzim.
“kamu kerjanya menggambar! Ayo belajar! Gimana bisa dapat nilai bagus kalau kerjanya hanya gambar gambar ga jelas! Kerjakan PR dari sekolah. Mau jadi apa kamu nanti? Kamu harus jadi orang sukses! Mendapat nilai-nilai yang bagus. Kemudian jadi orang . Nilai-nilai rapor kamu harus bagus bagaimanapun caranya. Jangan buat ayah malu!”
Si anak kemudian tertunduk pasrah dengan enggan ia mulai membuka bukunya. Angka-angka yang mengerikan dan sederetan teks yang membosankan kini harus dihadapinya.
Lantas kemudian, si anak akan menutup bukunya atau hanya mencorat-coret pura-pura mengerjakan. Padahal keesokan harinya ia menyalin pekerjaan milik temannya. Mulai tumbuhlah benih kecurangan dan lahirlah sisi baru yaitu sisi “koruptor” dalam dirinya, makin lama makin tumbuh besar. Mungkin ada beberapa dari mereka yang jujur, namun yang jujur itu pun lambat laun akan mengikuti arus. Mengapa demikian? karena seorang siswa yang berusaha jujur untuk mendapatkan nilai tanpa kecurangan lambat laut akan merasa bahwa usaha yang mereka lakukan adalah sia-sia karena apresiasi yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Seorang siswa yang mendapat nilai buruk namun berusaha sesuai kemampuannya dengan dilandasi sikap jujur akan ‘dikalahkan’ oleh mayoritas siswa di kelas yang mendapat nilai bagus atas hasil kecurangan. Hal tersebut akan membuat siswa’tertekan’ dan merasa frustrasi akibat ketidak adilan atas dirinya dan lambat laun ia akan ikut menjadi pragmatis juga.
Bagaimana pun nilai yang tinggi adalah sebuah tuntutan di negeri ini sehingga pada kebanyakan siswa telah tertanam pola pikir pragmatis karena kesempatan untuk berbuat curang sangat terbuka lebar. Proses bukanlah suatu hal yang dipandang dan ditititberatkan namun kebanyakan orang memang berfokus pada hasil dan kurang menghargai proses demi mengejar suatu ketuntasan dari kurikulum yang kaku. Terlebih jika mereka harus melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan. Bayangkan jika seorang anak yang sebenarnya bakatnya berada dalam bidang seni namun dipaksa untuk memperdalam bidang yang lain, apa yang akan ia lakukan? Ia akan mengerjakannya dengan ‘setengah hati’ dan mencari cara praktis untuk mendapatkan hasil terbaik. Bukankah sesuatu yang dikerjakan dengan cinta dan ketulusan akan lebih baik hasilnya? Jadi, ada banyak anak yang ‘terperangkap’ dan menghabiskan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mereka sukai. Waktu yang mereka habiskan pun menjadi sia-sia. Oleh sebab itu ‘ritual estafet’ bernama kecurangan Ujian Nasional tetap akan terjadi secara berkesinambungan dari masa ke masa. Dan selama hal tersebut masih berlangsung, maka pemberantasan koruptor akan sulit dilakukan karena akan tumbuh koruptor-koruptor baru dari masa ke masa. Sistem yang ada telah memaksa siswa untuk menguasai suatu hal yang bukan merupakan potensi dalam dirinya dan ketakutan para guru akan momok ketidaklulusan bagi anak-anak didiknya menjadi katalis dalam ‘ritual estafet’ pada sistem Ujian Nasional yang tujuan sebenarnya adalah untuk mengukur kemampuan setiap siswa. Sehingga, meskipun kejujuran telah seringkali bergema dalam bentuk lisan maupun tulisan, namun aplikasi dalam wujud tindakan masih sulit direalisasikan. Lantas dimanakah pendidikan karakter? Apakah hanya sebagai ‘hiasan’ saja dalam tujuan fundamental pada sistem pendidikan di negeri ini?
Sebenarnya anak-anak sudah mulai menunjukkan bakat dan bidang apa yang mereka senangi melalui hal-hal yang paling membuat mereka tertarik sehingga mereka akan fokus dalam mengerjakan hal tersebut.
Bayangkan jika anak-anak mengerjakan apa yang mereka sukai dengan dilandasi atas potensi yang ada dalam diri mereka serta dibimbing oleh para ahli dalam bidangnya tanpa mengejar sebuah ‘ketuntasan’ namun meraih suatu ‘penguasaan’. Maka mereka akan berusaha melakukan yang terbaik dalam bidang tersebut tanpa ada beban dan tekanan, tanpa ada kecurangan, tanpa pola pikir pragmatis. Di masa yang akan datang pastilah akan muncul para ahli yang bekerja secara profesional dalam bidangnya masing-masing bukan hanya ‘mengikuti arus.’ Oleh sebab itu sedari dini mereka harus diberi ruang dan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Setiap manusia itu unik dan memiliki potensi masing-masing. Mereka perlu mendapat ruang dan apresiasi atau mereka akan pergi dari negeri ini dan memilih untuk membangun ‘negeri orang lain’
Kini yang menjadi pertanyaan besar adalah : Mengapa sistem pendidikan tidak mulai ditata berdasarkan potensi terdalam yang ada dalam diri setiap anak? Mengapa pendidikan karakter tidak benar-benar diaplikasikan? Mengapa hasil akhir lebih diutamakan daripada proses? Bukankah belajar adalah suatu proses pembiasaan, untuk menjadi mahir harus dilakukan terus dan berulang-ulang. Namun sistem yang ada saat ini seakan-akan hanya mengejar ‘ketuntasan’yang terpaku pada materi yang kaku tanpa mempedulikan apakah siswa sudah benar-bernar memahami atau belum?
Bagaimanapun, wajah pendidikan di negeri ini harus segera dibenahi. Pendidikan telah dibuktikan mengangkat harkat derajat manusia dan secara meluas harkat dan martabat negara. Semua negara yang kini menjadi negara maju dan sejahtera adalah negara yang telah berhasil membangkitkan dan menjalankan sistem pendidikannya.
Kontras jika dibandingkan dengan negeri ini. Negeri yang besar dan kaya sumber daya alam ini mayoritas dipenuhi orang-orang teoritis yang dapat menciptakan teori tanpa dapat melakukan implementasi. Harga diri bangsa ini makin hari makin terpuruk karena terlalu ‘menggantungkan diri’ pada bangsa lain. Padahal jika sumber daya manusia dikelola dengan sistem yang tertata dan rapi kita dapat berdiri di atas kaki sendiri. Negeri yang kaya akan sumber daya alam ini tidak perlu berlaku seolah-olah negeri yang ‘fakir’ dengan menerima hibah berupa ‘barang rongsokan’ dari negeri lain. Betapa memalukan!
Maka saat ini, tidaklah mengherankan jika banyak bermunculan orang-orang yang hanya bisa memberi ‘kritik’ kemudian menyerang satu sama lain tanpa memberi solusi. Negeri ini makin kaya dengan polemik dan makin mendekati ambang kehancuran. Perubahan harus dilakukan meskipun pada realitanya memang tidak mudah serta sudah dipastikan akan mengalami banyak pertentangan dari berbagai pihak. Namun seperti kata pepatah, seribu langkah dimulai dari satu langkah kecil yang dilakukan secara konsisten. Sama halnya jika dianalogikan dengan langkah perbaikan dalam sistem pendidikan. Jika satu aspek ini saja sudah dapat diperbaiki, maka Indonesia di masa depan akan berjaya di mata dunia dan membuktikan bahwa negeri ini dapat berdiri di atas kaki sendiri tanpa sokongan dari pihak asing yang pada akhirnya hanya akan ‘menghisap darah’ seperti lintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)