IkLaN

IkLaN

Copas International

IkLaN

IkLaN

Senin, 02 November 2015

Tol Laut, Mewujudkan Sumpah Pemuda Jilid II

Tol Laut, Mewujudkan Sumpah Pemuda Jilid II

OLEH : EKO EDHI CAROKO
Konsep Tol Laut yang digagas pemerintah, bisa menjadi Sumpah Pemuda jilid II. Menekan biaya logistik  sekaligus  mempersatukan Indonesia dalam kesejahteraan.

Tujuh puluh tahun sudah negeri ini berdiri, merdeka menentukan nasib sendiri. Namun harus diakui, perjalanan panjang Indonesia hingga saat ini belum mampu memenuhi apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Diantaranya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata belum dapat dinikmati secara merata. Di tengah perayaan memperingati hari jadi Indonesia yang ke-70,  terselip rasa prihatin, karena kondisi ekonomi bangsa ini tengah mengalami perlambatan. Artinya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk dapat mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Diantara setumpuk pekerjaan rumah itu ada beberapa yang harus segera diselesaikan, diantaranya soal daya saing. Di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, Indonesia harus menghadapi persaingan bisnis yang makin ketat. Itu terkait dengan berlakunya pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku tahun ini. Kendala utama yang menghadang daya saing produk Indonesia adalah soal biaya logistik.

Biaya logistik di tanah air tergolong tinggi, 24,6 % dari GDP. Sebagai perbandingan biaya logistik di Singapura hanya 9%, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing hanya 15%. Menurut kajian McKinsey Global Institute (2011) rata-rata biaya logistik di negara-negara ASEAN saja hanya  sebesar 18%. Dengan biaya logistik setinggi itu bagaimana bisa produk Indonesia bersaing di pasar bebas,  menghadapi produk impor.  

Tingginya biaya logistik di Indonesia terjadi karena belum memanfaatkan secara maksimal moda transportasi laut. Untuk keperluan distribusi logistik, masih mengandalkan transportasi darat. Padahal biaya angkutan darat lebih mahal 10 kali lipat dari angkutan laut. Barang yang diangkut melalui kapal laut seharusnya dapat menjadi solusi untuk menekan biaya logistik nasional, namun nyatanya tidak. Pelabuhan-pelabuhan yang ada di negeri ini tidak efisien.

Ketidakefisienan itu, misalnya,  tercermin dari waktu yang dibutuhkan kapal yang ingin bersandar ke pelabuhan.  Di Tanjung Priok Jakarta, butuh waktu antrean sekitar 3 hari sebelum kapal bisa anchorage (bertambat). Di waktu sibuk, seperti menjelang Hari Raya Idul Fitri, waktu antrian kapal malah bisa mencapai 2 minggu. Sementara waktu yang dibutuhkan untuk barang ke luar dari pelabuhan  (dwelling time) mencapai 5 hingga 6 hari.

Tidak efisiennya bongkar muat di pelabuhan membuat biaya angkut jadi lebih mahal. Bandingkan saja ongkos angkut kontainer berukuran 20 TEUs, dari Jakarta-Hamburg  (Jerman)  yang berjarak 11 ribu km sekitar US$ 1200. Sementara dari Jakarta-Padang yang hanya berjarak 1000 km, ongkos kirimnya lebih mahal yakni sekitar US$ 1800.

Kesenjangan infrastruktur dan pelayanan antara pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia juga jadi masalah tersendiri. Seperti  Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Terminal Petikemas Surabaya (TPS) dengan pelabuhan-pelabuhan domestik yang ada di daerah. Kesenjangan itu tercermin juga dari biaya angkut. Contohnya saja, ongkos kirim kontainer dari Dumai Riau ke Tanjung Priok mencapai US$ 340. Sementara ongkos dari pelabuhan Singapura ke Tanjung Priok, dengan jarak yang kurang lebih sama dengan Dumai-Tanjung Priok, hanya US$ 185.  Begitu juga dengan ongkos kirim dari Sanghai, Cina ke Jakarta hanya sekitar US$ 300. Itu sebabnya,  konsumen di Jawa jadi lebih akrab dengan barang-barang  produksi Cina.



Melihat kenyataan yang ada ini, RJ Lino, Direktur Utama PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero), pun mengatakan, sistem logistik nasional kita memang sedang sakit dan jika terus dibiarkan akan sangat berbahaya bagi Indonesia. Negeri ini hanya akan jadi penonton di rumah sendiri  di era pasar bebas ASEAN. Tak hanya itu, produk yang dihasilkan oleh industri di Pulau Jawa bakal kehilangan pasar, khususnya pasar di luar Jawa. Ongkos kirim barang yang lebih murah dari luar negeri ke Indonesia membuat harga produk impor jadi lebih terjangkau. Kebutuhan mereka yang ada di luar Jawa, akan dipenuhi oleh negara-negara tetangga. Tidak lagi dipasok oleh industri yang ada di Jawa.



Hemat Rp 300 Triliun

Perlu diingat pasar di luar Jawa akan semakin penting. Mckinsey Global Institute memprediksi dalam kurun waktu 2010-2030  pertumbuhan ekonomi kota-kota di luar Jawa akan mencapai lebih dari 7%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi di Jawa yang akan berada di kisaran 5%-7% saja.

Apa yang disampaikan oleh Mckinsey itu, ditangkap sebagai sebuah peluang oleh negara-negara tetangga. Dalam mengahadapi era perdagangan bebas ASEAN 2015, sejumlah negara tetangga telah bersiap membidik pasar di luar Jawa, dengan membangun pelabuhan baru atau merevitalisasi pelabuhan yang sudah ada. Malaysia, menyiapkan dana 4 miliar Ringgit untuk membangun pelabuhan di Kuantan untuk dapat membawa barang ke kota-kota besar di Pulau Kalimantan. Pemerintah Thailand membangun Pelabuhan Laem Chabang di Pattaya, pelabuhan terbesar dan termodern di kawasan Asia Tenggara. Kawasan Sumatera jelas akan disasar oleh pelabuhan ini.

Vietnam juga tak ingin ketinggalan,  negeri ini telah merampungkan pembangunan Pelabuhan Cai Mep-Thi Vai. Kompleks pelabuhan yang dibangun dengan investasi sebesar 13 triliun dong Vietnam (US$6 13 juta) ini, berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Pelabuhan ini menyasar logistik untuk diantarkan ke kawasan Sumatera, Kalimantan dan Jawa.  Sementara Brunei Darusalam menyiapkan New Muara Container Terminal. Sedangkan Filipina merevitalisasi Pelabuhan Davao untuk menyasar pasar logistik di Sulawesi dan Timur Indonesia. Pemerintah Filipina tak ragu untuk menggelontorkan dana hingga 4 miliar Peso untuk meningkatkan kapasitas pelabuhan yang terletak di Pulau Mindanau ini.

Jika sudah demikian persatuan  bangsa ini bakal terancam. Apa gunanya masih ada dalam bingkai negara kesatuan Indonesia, bila Kalimantan sudah tidak membutuhkan Jawa, sementara Jawa juga tidak membutuhkan Sumatera dan Sulawesi. 

Salah satu solusi untuk menurunkan biaya logistik adalah dengan memindahkan moda angkutan barang  yang saat ini masih didominasi angkutan darat ke angkutan laut. Itu sebabnya kajian McKinsey mengatakan bila 50% angkutan barang pindah dari darat ke laut akan menekan biaya logistik tinggal menjadi 20,9%. Penurunan biaya logistik sebesar 3,69% dari GDP itu setara dengan penghematan sebesar Rp 300 triliun per tahun. Nah, agar mendorong perpindahan angkutan barang dari darat ke laut, maka Presiden Joko Widodo pun mencanangakan Program Tol Laut. Melalui Tol Laut akan ada armada kapal barang yang berlayar non stop pulang pergi dari Medan di Sumatera Utara hingga Sorong di tanah Papua. 

Melalui Tol Laut,  harga barang di Indonesia Timur dapat ditekan sehingga tidak semahal seperti sekarang ini. Tidak itu saja, kawasan  industri  pun dapat tumbuh di sana, mengimbangi menjamurnya kawasan industri yang sudah ada di Jawa. Adanya Tol Laut juga  bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia.

Menurut kajian PT. Pelindo II (Persero) , bila sistem Tol Laut sudah beroperasi, ongkos kirim kontainer dari Jakarta ke Surabaya akan terpangkas dari  US$ 350 tinggal hanya US$125. Sementara itu jarak antara Jakarta -Sorong serasa akan semakin dekat, sebab ongkos kirimnya turun drastis dari yang tadinya US$ 2000 menjadi hanya US$  375.



Ongkos kirim yang makin ekonomis itu pada akhirnya akan menumbuhkan  sentra-sentra produksi (seperti pabrik),  di luar Jawa. Selama ini agak sulit membuat sentra-sentra produksi  di luar Jawa, akibat ongkos kirim barang yang terlalu mahal dibandingkan barang impor.  Dengan demikian, tidak hanya pertumbuhan ekonomi saja yang meningkat, tapi juga mampu memeratakan pertumbuhan tersebut. Lebih dari itu daya saing produk nasional pun akan semakin kuat, hingga mampu membendung serbuan produk impor.



Tol Laut berimplikasi mempersatukan Indonesia dalam kesatuan ekonomi.  Dan ini bisa menjadi Sumpah Pemuda jilid II. Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 1928, punya hubungan yang begitu kuat dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Sumpah Pemuda 1928, memunculkan semangat bersatu untuk menjadi sebuah negara yang berdaulat. Kini semangat bersatu untuk tetap menjadi sebuah negara dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Mampu secara bersama-sama meningkatkan kesejahteraan dan memanfaatkan pembangunan secara merata di pelosok negeri. Sehingga sebenarnya keberadaan Tol Laut merupakan kebutuhan, bukan sekedar rencana apalagi janji pemanis bibir saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)

W M Transfer

W M Transfer

IkLaN