EMPAT SERANGKAI PERPOLITIKAN INDONESIA
OLEH : HERU PURNOMO
Terdapat pandangan yang mengemukakan bahwa reformasi politik pada dasarnya hanya berhasil menggusur penguasa orde baru, dalam hal ini Soeharto. Namun, reformasi gagal mendesakkan agenda reformasi menyuluruh terhadap sistem ekonomi dan politik. Kaum reformis gagal mengawal program reformasi hingga tuntas. Ketika struktur-struktur politik mengalami perubahan, kinerja sistem politik Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti. Kebijakan publik tetap diorientasikan untuk melayani kepentingan elit dan menyimpang jauh dari harapan-harapan publik dibandingkan dengan melayani kepentingan-kepentingan mereka (Winarno, 2007). Mencuat, menyempal, menyimpang, dan tidak searah dengan tujuan awal. Situasi politik yang semakin memanas dan mengeluarkan aroma busuk silih berganti muncul. Kadang berbarengan, Bergandengan satu dengan yang lain dalam bentuk empat serangkai yaitu politik uang, pencintraan, politik sungsang dan zig-zag.
Oleh karena itu, penulis berusaha menghadirkan tentang perpolitikan di Indonesia terkait empat serangkai tersebut yang selalu muncul dalam dinamika perpolitikan.
MONEY POLITICS
Politik uang sebenarnya dilakukan di mana demokrasi hanya berarti pengumpulan suara, dan tergantung pada moral yang dapat digeser-geser para politikus pada suatu saat dan tempat (Jacob dan Indriati, 2001). Politik uang untuk meraih suatu jabatan politik hanya akan membawa seorang pejabat mudah menyelewengkan jabatannya untuk meraup keluarganya. Untuk itu perlu terus diingatkan bahwa politik uang hanya akan melanggengkan lingkaran pemerasan terhadap harta kekayaan rakyat (Poerwanto, 2009). Hukum ekonomi juga berlaku dalam urusan politik uang tersebut. Pengorbanan materi yang telah diberikan selama proses pencalonan tentu harus dibayar melalui sejumlah kewenangan yang ada jika terpilih. Ini memunculkan nafsu mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui jabatan yang disandangnya baik secara legal maupun melawan hukum (Gunawan, 2008).
Hal senada dikatakan oleh Da Iry (2009), money politics/poltik uang adalah suatu perbuatan atau tindakan memperoleh kedudukan politik dengan mengeluarkan sejumlah uang. Atau dengan kata lain sebagai praktek jual beli jabatan atau kekuasaam. Setiap kekuasaan yang diperoleh dengan prkatek ini akan cenderung korup dan bersifat “tujuan menghalalkan cara” (finis sanctificat media) sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Machiavelli. Kedudukan atau jabatan politik adalah sesuatu yang strategis dan secara ideal adalah untuk pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, suatu kedudukan yang diperoleh dengan cara “membeli” dengan uang sangat mungkin akan disalahgunakan untuk mencari uang dan harta, baik untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan maupun untuk memperoleh tambahan uang dan harta yang lebih banyak.
Seorang bijak, Sophocles, pernah mengingatkan kita, “Tak ada satu halpun di dunia ini yang paling meruntuhkan moral selain uang”. Memang benar, uang adalah alat penggoda terbesar di dunia. Bahkan berbeda dengan jenis penggoda lainya seperti lawan jenis dan kekuasaan, tidak ada satupun orang di dunia yang tidak membutuhkan uang. Kita semua sibuk mencari uang agar dapat hidup dengan layak. Karena kita mencarinya, sangat wajarlah kalau kita tergoda (Pardiasyah, 2004).
PENCINTRAAN
Politik citra mendistorsi hubungan-hubungan langsung penguasa dan rakyat. Mereka boleh mengaku berada di pihak rakyat, bersatu dengan rakyat, ataupun manunggal dengan rakyat. Namun, rakyat yang sudah sadar tahu bahwa itu hanyalah jargon kosong. Penguasa tidak mau tahu. Mereka terus membangun citra dan tujuannya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan perolehan suara. Apakah pencitraan itu sesuai dengan kualitas produknya itu soal lain. Persoalan utama mereka adalah bagaimana bisa menjual sebanyak-banyaknya (Sudrijanta, 2009).
Dalam hidup modern, yang gugup, tergesa-gesa, dan serba instan, seluruh kesadaran kita terbelenggu oleh citra buatan itu. Haruskan kita mempercayai kesimpulan yang tampak logis bahwa kini perkembangan kesadaran politik bangsa kita baru sampai tahap mengagumi foto, kata-kata, dan tampilan “rapi jail”, tak memiliki otentisitas pemikiran tentang pemimpin dan kepemimpinan. Politik pencitraan itu barang palsu, sepalsu permainan panggung drama modern dan lenong, atau ketoprak. Tampilan ‘rapi jali’ bedak dan gincu itu bukan identitas sejati mereka (Mahyudin, 2009). Yang tercipta adalah dunia yang di dalamnya antara realitas, realitas palsu, dan realitas artificial (dalam media, produk) tumpah tindih sehingga batas antara keduanya menjadi kabur. Padahal, ia tak lebih dari hasil manipulasi, yaitu pencitraan. Realitas yang tampak nyata itu sesungguhnya hanyalah realitas pada tingkat representasi dalam media, televisi, dan internet (Piliang, 2003).
Bahwa ada garis batas dan perbedaan jelas antara politik pencitraan serta keseriusan bersikap dan konsitensi tindakan. Politik pencitraan adalah bentuk lain dari “pepesan kosong”. Tidak ada permanenitas dan konsistensi di dalamnya, ibarat salon mobil atau salon kecantikan, cukup dipoles sehingga baret atau luka dapat tertutupi. Beberapa konsultan politik telah demikian mahir sehingga mampu dalam sekejap memoles sesuai dengan citra yang ingin diciptakan. Namun pasti, make up semacam itu tidak tahan lama, cepat luntur, karena tidak bersumber dari hati dan dilakukan secara konsisten (Mulyawan, 2010).
POLITIK ZIG-ZAG DAN SUNGSANG
Politik zig-zag adalah sebuah situasi yang dimunculkan oleh para kaum elit politik dengan cara membangun koalisi secara silang menyilang, selang seling, tetapi koalisi itu belum fix 100%, hanya dibangun koalisi sebanyak-banyaknya, yang sewaktu-waktu garis haluan mereka akan berubah 180o, untuk mendukung atau menolak. Koalisi politik yang amat susah ditebak kemana arahnya akan berakhir, karena parpol menggunakan politik zig-zag untuk mencari teman, dan memunculkan lawan. Hari ini, mungkin adalah lawan tetapi besok akan menjadi teman sehaluan. Bahkan musuh dari musuhnya bisa saja dijadikan teman dalam rangka menghancurkan musuh-musuh lainnya. Semua partai politik dalam membentuk garis koalisi mereka memainkan politik zig-zag. Tidak memandang partai besar, partai papan tengah, semua masih bersatu untuk membangun koalisi ke segala penjuru. Koalisi permanen mereka hanya akan terlihat di detik-detik penentuan Capres dan Cawapres (Ningtias, 2014).
Perpolitikan Indonesia juga mengalami sungsang. Sungsang maksudnya (seperti) posisi bayi dalam rahim ibunya. Sering kali salah tempat dan posisi tanpa etika dan moral. Kekuasaan dan uang telah menjadi episentrum politik dekonstruktif yang membelokkan arah politik dari tujuan negara. Presiden yang seharusnya terdepan menegakkan politik bernegara seringkali terseret dalam arus permainan politik kekuasaan dan pemerintahan. Perseteruan KPK dan Polri mesti berakhir dalam ketegangan baru. Akibat banyaknya sungsang, rakyat mulai ragu dan kelelahan mengikuti perkembangan politik tanah air. Kepercayaan rakyat terhadap DPR pun terperosok tajam akibat kongkalikong dan perburuan rente yang sulit dibuktikan. DPR lebih dilihat sebagai tempat politisi mencari nafkah. Pola ini mengkristal menjadi pembelahan diametral antara suara rakyat versus suara elit (Sarjadi, 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)