IkLaN

IkLaN

Copas International

IkLaN

IkLaN

Jumat, 04 Desember 2015

Menggagas Jaminan Kesehatan Perokok: 'Dari Rokok, Oleh Rokok, Untuk Rokok'

Menggagas Jaminan Kesehatan Perokok: 'Dari Rokok, Oleh Rokok, Untuk Rokok'
OLEH : JANU ARLINWIBOWO
Data di atas cukup menunjukan bahwa msayarakat Indonesia sudah terbelenggu oleh rokok. Konsumsi rokok setiap harinya pun tidak tanggung-tanggung. Setiap hari ada 225.161.640.007 batang rokok dibakar setiap tahunnya. Jika harga 1 batang rokok Rp 1.000, maka uang yang dikeluarkan lebih dari 225 trilyun Rupiah. Tidak dapat dibayangkan berapa volume asap yang keluar dari cerobong hidup dan disemburkan ke lingkungan. Jelas lebih luar biasa lagi jumlahnya orang yang terbaiat menjadi perokok pasif. Fakta mencengangkan lain adalah dari sekian banya perokok, 70% diantaranya adalah masyarakat miskin dengan penghasilan dibawah UMR. Berdasarkan hasil survei, nampak data bahwa rokok merupakan kebutuhan terbesar kedua setelah beras.

Rokok adalah fenomena di Indonesia. Banyak orang bilang bahwa rokok memberikan pemasukan besar melalui cukai. Tidak jarang yang beranggapan pemerintah sayang dengan industri tersebut karena partisipasinya dalam memeriahkan daftar pemasukan negara. Namun, alih-alih mendapat untung, negara ini justru buntung. Pada 2012, pendapatan negara dari cukai, hanya sebesar Rp 55 triliun. Salah satu kerugian mendasar adalah kehilangan produktivitas akibat kematian prematur dan morbiditas maupun disabilitas senilai Rp 105,3 triliun.

Diketahui bahwa asap rokok mengandung sekitar 4.000 bahan kimia, dan berhubungan dengan sedikitnya 25 penyakit di tubuh manusia. Rokok menyebabkan lebih dari 23 ribu orang meninggal dunia pada tahun 2014. Singkatnya, rokok membuat manusia lebih mudah terkena penyakit. Celakanya masyarakat Indonesia banyak yang menjadi korbanya. Pada dasarnya semua orang tahu bahaya merokok. Tapi nampaknya di Indonesia bahaya rokok hanya menjadi mitos belaka, ibarat sebuah cerita rakyat yang boleh dipercaya boleh diabaikan.



Tumbukan Opini: Rokok dan Jaminan Kesehatan

Banyak argumen muncul dari pakar-pakar kesehatan, bahkan Menkes Nafsiah Mboi mengatakan kalau rokok dapat membuat BPJS bangkrut. Biaya kesehatan yang dikeluarkan akibat dampak rokok tidaklah sedikit. Data 2013 menyebutkan jumlah total biaya yang harus dikeluarkan akibat penyakit terkait rokok (PTR) diperkirakan sekitar Rp 39,5 trilyun dalam setahun oleh ASKES sedangkan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) sebesar Rp 52 triliun. Statistik menujukan bahwa konsumen rokok terus meningkat sehingga bukan tidak mungkin angka Rp 91,5 trilyun terus meningkat.

Melihat fakta tersebut, tentu penggiat anti rokok merasa negara ini telah dirugikan besar-besaran. Diantara penggiat anti rokok menyerukan bahwa seharusnya perokok tidak ditanggung oleh JKN. Alasan yang dipaparkan cukup logis bahwa menghisap rokok termasuk dalam perbuatan yang sengaja menyakiti diri sendiri, sehingga akibatnya tidak perlu ditanggung pemerintah. Landasan opini tersebut adalah Peraturan Presiden tentang JKN nomer 12 tahun 2013 pasal 25 i. Aturan tersebut memuat pelayanan yang tidak ditanggung JKN, yaitu yang diakibatkan sengaja menyakiti atau melakukan hobi yang merugikan diri sendiri.

Berbagai pihak dengan sudut pandang lain membantah dengan lugas opini penggiat anti rokok. Dalihnya pun kuat yaitu penyakit itu tidak ada yang tunggal penyebabnya, sangat kompleks sehingga tidak adil jika masyarakat JKN membeda-mbedakan. Dampak yang ditimbulkan oleh rokok tidak langsung dirasakan, tidak seperti minum racun sehingga analisis lugas mengenai sebab penyakit jelas memiliki celah besar untuk dibantah. Ditambah dengan berbagai isu pola makan tidak sehat dan radikal bebas membuat sudut pandang ini relatif kuat.

Opini lain muncul dari karakter khas masyarakat yang suka membandingkan. Muncul pendapat bahwa ketika JKN tidak menanggung penyakit terkait rokok adalah tidak adil. Penderita HIV/AIDS, pengguna Narkoba dan alkohol yang disengaja saja mendapat jaminan kesehatan. Sedangkan pecandu alkohol dan penderita AIDS disebabkan oleh faktor tunggal dengan imbas yang sangat khas. Sehingga hanya penyakit yang “terkait” dengan rokok dimana rokok bukan penyebab tunggal tentu seharusnya ditangani pula oleh pemerintah.

Menatap berbagai sudut pandang di atas nampaknya penghapusan hak perokok untuk menjadi anggota JKN nampaknya akan menimbulkan kericuhan berkepanjangan. Bukan hal bijak jika pemerintah membiarkan 58.750.592 warganya kesehatanya tidak terjamin. Namun, masalahnya JKN yang berdiri atas dasar gotong royong membiarkan 58.750.592 menjadi benalu. Subsidi silang ala JKN dari si kaya dan si miskin akan berubah menjadi subsidi konvergen ke perokok.



Formula Jaminan Kesahatan Perokok: Dari Rokok, Oleh Rokok, Untuk Rokok

Solusi frontal memerangi rokok seperti mencekal beredarnya rokok atau mengharamkan rokok nampaknya masih buntu. Memberikan pengarahan juga merupakan solusi jangka panjang. Sedangkan negara ini butuh solusi cepat minimal untuk menyelesaikan masalah orang sakit akibat rokok. Mari kita coba mencari solusi yang tajam namun tidak melukai.

Pada dasarnya kita semua sepakat bahwa perokok adalah golongan orang yang dengan sengaja menyakiti atau melakukan hobi yang merugikan diri sendiri. Kita juga yakin semua orang juga sepakat bahwa sumber sakit tidak hanya dari rokok tapi juga banyak faktor lain. Permasalahannya adalah bagaimana agar perokok dapat membiayai dirinya sendiri jika suatu ketika menderita sakit.

Mari lihat karakter konsumen di Indonesia. Harga beras naik atau harga bensin naik pasti semua akan menggugat pemerintah, lewat mahasiswa ataupun LSM masyarakat menggedor wakil rakyat untuk meminta penjelasan. Akan tetapi adakah konsumen rokok yang demo saat harga rokok naik? Dijamin tidak akan ada. Pada dasarnya semua masyarakat tahu bahwa rokok bukan kebutuhan pokok jadi ketika harga melambung tinggi tidak ada dalih untuk menuntut. Solusi sederhananya adalah membeli jenis rokok yang harganya lebih murah.

Fenomena tersebut adalah celah bagi pemerintah untuk dapat merekonstruksi sistem peredaran rokok.Jadi pemerintah dapat mengutak-atik standar peredaran rokok. Selama ini pemerintah telah mengambil langkah positif dengan menaikan cukai dan mewajibkan kemasan rokok memberi gambar dampak merokok. Nampaknya cukup logis jika pemerintah menuntut pihak produsen rokok untuk tidak hanya sekedar membayar cukai tapi juga iuran premi jaminan kesehatan yang disematkan pada tiap bungkus rokok. Sistem ini cukup aman sementara untuk menanggulangi polemik tanggungan kesehatan perokok.

Pemerintah memiliki peran sentral untuk sistem ini. Pemerintah harus memiliki sinergi positif dengan pihak pengusaha rokok dan kementerian terkait. Untuk penentuan premi pada dasarnya tidak sulit, hanya menghitung resiko yang ditimbulkan pada tiap batang rokok. Dalam artikel ini akan dilakukan simulasi perhitungan sederhana. Kebutuhan untuk pemeliharaan Rp 91.500.000.000.000,00 dibagi jumlah rokok yang terbakar tiap tahunnya adalah 82.183.998.602.555 batang maka didapatkan premi kesehatan per batang rokok adalah Rp 1,11. Dengan demikian maka tinggal mengalikan jumlah batang pada tiap kemasan. Jika kemasan isi 12 batang maka premi tiap batang adalah Rp 13,36. Hitungan tersebut hanya berdasarkan data kasar dari referensi, tentu pihak pemerintah dan pengusaha rokok punya data aktual yang dapat menentukan nominal yang dibebankan setiap batang rokok untuk jaminan kesehatan.

Membebani tiap bungkus rokok dengan premi kesehatan tentu akan memberikan pergeseran harga. Namun, demikian dapat dikaji lebih mendalam melalui sinergi pemerintah dan pihak industri. Pengusaha rokok terkenal jor-joran membiayai banyak acara dan pengembangan generasi muda. Dengan demikian nampaknya pembebanan premi jaminan kesehatan pada setiap bungkus rokok tentu bukan masalah besar. Jikalau terpaksanya hitung-hitungan ekonomi mengharuskan perusahaan menaikan harga tentu bukan masalah serius pula bagi konsumen. Fakta lapangan menunjukan bahwa kenaikan harga rokok tidak menimbulkan kisruh. Bahkan kenaikan harga rokok tidak mempengaruhi konsumsi rokok masyarakat.

Dengan demikian maka jaminan kesehatan untuk masyarakat perokok tidak menimbulkan polemik. Perokok dan pengusaha rokok bersama-sama menjaga kesehatan imbas dari aktivitas konsumsi dan produksi yang mereka lakukan. Dari rokok, oleh rokok, untuk rokok.



Ingat: Hanya Solusi Sementara!

Strategi tersebut bukan untuk menjadi solusi permanen, namun hanya sementara waktu. Minimal kita harus segera selamatkan Rp 91,5 triliun untuk pos pemeliharaan kesehatan perokok. Solusi sebenarnya adalah penanaman sadar kesehatan pada masyarakat sehingga dapat melakukan langkah preventif. Lebih baik menjaga dibanding mengobati. Masyarakat yang cenderung sakit akan mempersingkat usia produktifnya. Kerugian akibat kematian prematur dan morbiditas maupun disabilitas senilai Rp 105,3 triliun harus diselamatkan. Namun jelas, sistem edukasi membutuhkan waktu yang relatif lama, sedangkan kita membutuhkan solusi jangka pendek yang meminimalisir dampak negatif. Sehingga pemerintah harus punya rencana jangka panjang dan jangka pendek yang matang untuk menanggulangi masalah rokok.



Alangkah baiknya jika populasi perokok ditekan hingga titik nol. Bersama menuju Indonesia sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)

W M Transfer

W M Transfer

IkLaN