Politik dan Demokrasi: Menggagas Demokrasi yang Berkualitas
Sejak era sebelum masehi, demokrasi telah muncul sebagai mekanisme politik yang diyakini dapat membawa kesejehteraan masyarakat, ia muncul sebagai regulasi politik yang paling modern di zamannya. Dibanding dengan sistem aristokrasi yang ada sebelumnya, demokrasi dianggap mampu berjalan sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat.
Optimisme terhadap demokrasi disebabkan karena mesin kekuasaan di dalam demokrasi bersandarkan pada partisipasi masyarakat secara luas. Artinya demokrasi mengandaikan bahwa mesin kekuasaan yang dihasilkannya yang berfungsi untuk mengatur kehidupan publik dihasilkan oleh keinginan masyarakat melalui proses pemilihan.
Sehingga ia dianggap mampu membawa kehidupan masyarakat pada kesejehteraan dan kebaikan. Munculah adagium populer dari Walter Reynolds, yakni Vox populi vox Dei – suara rakyat (adalah) suara Tuhan. Dalam hal ini suara kolektif masyarakat dianggap sebagai suatu “kebenaran”. Seolah-olah sudah menjadi keniscayaan, apabila mesin kekuasaan yang dihasilkan oleh jumlah suara terbanyak merupakan sebuah kebenaran dan dianggap mampu membawa kesejahteraan masyarakat.
Namun menjadi pertanyaan yang cukup serius, ketika mesin kekuasaan yang dihasilkan oleh jumlah suara terbanyak ternyata tak mampu membawa kehidupan masyarakat pada kesejahteraan. Mengapa mesin kekuasaan yang dihasilkan oleh jumlah suara terbanyak tak mampu membawa kebaikan pada masyarakat luas? Lantas apa yang salah dari demokrasi?
Di awal kelahirannya, demokrasi sempat diragukan dapat membawa kebaikan bagi masyarakat. Sokrates merupakan salah satu filsuf yang tegas menolak hadirnya sistem demokrasi. Penolakan Sokrates berlandaskan bahwa sistem demokrasi memberi kemungkinan besar suatu negara diperintah oleh orang-orang dungu yang kebetulan memperoleh suara terbanyak. Karena tak menutup kemungkinan bahwa masyarakat tidak selalu memberikan dukungannya kepada orang-orang yang dianggap paling mampu dalam menjalankan roda pemerintahan.
Tetapi lebih kepada orang yang mereka sukai dan celakanya orang yang mereka sukai tidaklah selalu orang-orang yang kompeten membela nasib hidupnya. Apa yang diungkapkan Sokrates menandakan bahwa demokrasi tak cukup hanya bersandar pada jumlah suara terbanyak. Layaknya seperti demokrasi yang berjalan sekarang ini di negeri kita, dimana secara rutin dan regular kita melaksanakan agenda pemilihan umum (pemilu) untuk menentukan siapa aktor-aktor yang akan menjadi penyelenggara negara, yang memerintah kita. Aktor-aktor tersbut terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Namun kenyataan pahit yang seringkali terjadi, aktor-aktor yang terpilih menjadi penyelenggara negara tak mampu memainkan perannya sebagai penyelenggara negara. Beberapa fungsi lembaga negara tak berjalan, persoalan-persoalan mendesak terkait kehidupan publik tak mampu di selesaikan. Sehingga masyarakat tak memperoleh imbas dari berjalannya sistem demokrasi.
Tak dapat dibantah, jika hal semacam ini terus menerus terjadi maka demokrasi hanya menimbulkan kekecewaan. Demokrasi justru sedang menggali kuburnya sendiri menuju kematianya. Demokrasi semacam ini hanya membawa kehidupan publik pada “depolitisasi”, dimana angka partisipasi politik menurun tajam akibat kekecewaan dan kemuakan masyarakat terhadap proses politik yang sedang berjalan.
Penyebab utama yang mengakibatkan demokrasi menjadi demikian ialah terabaikannya unsur kompetensi dan integritas sebagai ukuran dan nilai dalam berjalannya sistem demokrasi. Kompetensi terkait kemampuan dan keahlian dalam menjalankan tugas politik yang diemban. Peran politik mensyarakatkan kriteria kemampuan yang harus dipenuhi agar peran tesebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sehingga sebuah sistem dapat berjalan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Sedangkan integritas terkait dengan kesadaran seorang aktor atau politikus tentang prinsip dan norma-norma yang dianggap baik bagi kemaslahatan masyarakat. Hal ini terkait dengan konsistensi seorang politikus dalam memanifestasikan prinsip perjuangan politiknya di dalam menjalankan kerjanya. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka dapat dipastikan seorang politikus tersebut telah mengkhianati prinsip perjuangan politiknya sendiri.
Melalui kompetensilah sang politikus menterjemahkan prinsip perjuangan politiknya ke dalam ketetapan tujuan, garis haluan sampai pada teknis program kerja. Sedangkan integritas terkait dengan tujuan yang hendak dicapai beserta nilai-nilai yang menjadi legitimasi rasional dari tujuan tersebut. Dengan adanya integritas, politik menjadi bersifat etis karena ia dituntut mempertimbangkan nilai-nilai yang membenarkan tujuan yang telah ditentukan. Singkat kata, integritas berkaitan dengan political will.
Demokrasi tanpa kompetensi dan integritas, maka ia tak bisa diharapkan menjadi sebuah sistem politik yang dapat menyelesaikan sederet problem yang muncul terkait kehidupan publik. Seperti pertunjukan politik yang kita tonton saat ini, konstelasi politik tak lebih sekedar tawar-menawar dagang sapi, tanpa adanya kekuatan wacana dan pertarungan gagasan. Politik yang seharusnya diwarnai dengan pertarungan gagasan tentang bentuk kehidupan yang dianggap paling baik untuk kehidupan publik hanya menjadi mesin transaksi pencari keuntungan kelompok kepentingan.
Fenomena dimana uang menjadi satu-satunya kekuatan utama penggerak mesin demokrasi menjadikan politik kehilangan wibawanya. Uang menjadi kuasa tertinggi di atas segalanya, bahkan sesuatu yang seharusnya tak dapat disejajarkan nilainya dengan uang, kini ditukar dengan uang seperti dewan perwakilan, jabatan, gelar, wewenang dan posisi fungsional. Uang menjadi nilai tukar bagi semua objek, dan akhirnya semuanya menjadi komoditas, tak lebih dinilai sebagai barang dagangan.
Di situasi demikian, demokrasi terancam dan mengancam kehidupan publik. Mesin politik yang ada hanya akan memunculkan permasalahan yang berantai.
Politik di reduksi hanya aktivitas mencari segala cara untuk mencapai suatu tujuan dan tak mempersoalkan apakah cara yang digunakan dianggap sesuai dengan nilai-nilai etis, serta apakah tujuan yang ditentukan dapat dibenarkan secara rasional.
Tawar menawar politik tak didukung oleh argumentasi kompetensi dan nilai-nilai kebjiaksanaan bagi kehidupan publik hanya menghasilkan euforia semata.
Semua ini harus menjadi pelajaran bagi kita dalam memperbaiki demokrasi, bahwa jalannya demokrasi haruslah memperhatikan unsur kompetensi dan integritas. Terutama bagi Partai Politik sebagai elemen utama dari demokrasi.
Demokrasi tanpa kompetensi dan integritas hanya mengandalkan mobilisasi bukan partisipasi. Masyarakat tidak bisa dibodohi terus menerus, kekecewaan publik lama-kelamaan menjadi buah simalakama bagi elite-elite politik yang menyimpang. Suatu ketika ia akan disapu oleh angin perubahan.
Masyarakat hanya menginginkan kesejahteraan bagi hidupnya, untuk itu mesin demokrasi tidak bisa berjalan tanpa kompetensi dan integritas. Karena agar kesejahteraan hidup bangsa ini dapat tercapai membutuhkan kompetensi dan integritas untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan nyata. Tanpa itu demokrasi hanya menjadi arena pergulatan copet mencari sumber rezeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)