Potret Pendidikan Indonesia
Majunya suatu bangsa sangat bergantung pada sumber daya manusia (SDM) yang ada. Ketercapaian SDM sangat ditentukan dari pendidikan yang berada dinegara tersebut. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensial SDM yang sangat memadai, hanya saja SDM tersebut belum didukung oleh pendidikan yang baik. Terutama untuk daerah-daerah pedalaman. Sarana dan Prasarana sekolah belum memadai. Pendidikan di Indonesia masih condong pada prestasi melalui angka bukan melalui akhlak dan pembangunan karakter pada diri manusianya.
Hal yang sangat tabu dan ditakuti oleh para orang tua bila anak mendapat nilai jelek disekolah, sehingga keberhasilan seorang anak hanya dilihat dari nilainya saja tanpa pernah ingin membangun akhlak dan karakter anak.
Padahal berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1, hakikat pendidikan sendiri adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari UU tersebut ada 5 pilar pendidikan yang menjadi tujuan keberhasilan suatu pendidikan, diantaranya :
Learning to believe and convince the almighty god (Belajar untuk mempercayai dan meyakini Tuhan Yang Maha Esa)
Learning to know (Belajar untuk mengetahui)
Learning to do (Belajar untuk melakukan atau berkarya)
Learning to live together (Belajar untuk hidup bersama)
Learning to be ( Belajar untuk menjadi atau berkembang secara utuh)
Untuk Indonesia sendiri, menurut saya sebagai sarjana pendidikan tujuan tersebut belumlah tercapai karena umumnya pendidikan di Indonesia hanya menerapkan “learning to know” tanpa mengembangkannya menjadi “learning to do” dan “learning to be”.
Umumnya sekolah yang ada di Indonesia membentuk siswa sebagai “makhluk knowing” yang mengajarkan banyak hal untuk diketahui para siswanya. Namun sekolah tersebut tidak mampu membangun kesadaran siswanya untuk mau melakukan apa yang ia ketahui itu sebagai bagian dari kehidupannya.
Contoh yang paling mudah dilihat adalah soal sampah. Banyak yang tau bahwa sampah harus dibuang ditempat sampah dan tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi masih banyak dari masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Hal ini bisa terjadi karena sistem pendidikan di Indonesia masih berbasis kurikulum dengan standar kompetensi bahwa anak-anak harus bisa menguasai semua mata pelajaran dengan banyak hal yg diujikan, hingga tak jarang membuat siswa menjadi stres dan mogok sekolah yang pada akhirnya tak satupun ilmu dari pelajaran yang ia ketahui diterapkan dalam keseharian hidupnya.
Seharusnya sistem pendidikan benar-benar diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang tidak hanya “tahu” tetapi juga mau “melakukan” apa yang benar sebagai bagian dari kehidupannya. Agar anak mampu melakukan apa yang benar, bisa dikembangkan melalui praktek langsung dan studi kasus terhadap kejadian nyata yang terjadi diseputar kehidupan mereka. Sehingga mereka tidak hanya tahu dan mengejar nilai disekolah tetapi mereka juga mau menerapkan ilmu yang diketahuinya dalam keseharian kehidupannya.
Kemudian untuk guru/pendidik, menurut saya guru adalah sosok observer, mediator dan motivator. Guru mengamati perkembangan anak. Guru juga memediasi orang tua dan anak bahkan memberi pengarahan kepada orang tua bila memang diperlukan. Sehingga guru bukan hanya sebagai pemberi nilai saja. Guru juga harus bisa menstimulasi dan memotivasi siswa agar mau belajar tanpa memaksa siswanya dengan ancaman dan hukuman yang berakibat ketakutan dalam diri anak didiknya.
Guru juga seharusnya bisa mendorong anak didiknya untuk mengenali minat dan bakatnya agar ia dapat memaksimalkan kemampuan yang ia miliki hingga menjadi seorang ahli. Karena setiap anak itu cerdas pada bidangnya masing-masing. Tak ada gunanya memaksa anak untuk bisa menguasai semua bidang kecerdasan. Ibarat sebuah pohon rambutan, tidak mungkin pohon tersebut bisa menghasilkan jenis buah yang lain, namun jadikanlah buah dari pohon rambutan tersebut menjadi buah rambutan yang berkualitas.
Sejatinya guru benar-benar menyadari perannya sebagai pendidik, melakukan hal-hal yang benar demi masa depan anak didiknya.
Kemudian yang tak kalah penting adalah rumah, dalam hal ini adalah lingkungan dalam keluarga dan peran serta orang tua. Karena selain sekolah, pendidikan awal anak berasal dari rumah. Sebagai orang tua, tidak lah boleh memaksa keinginannya terhadap anak. Sejak anak tersebut lahir ia sudah membawa amanah dari tuhan untuk mengambil satu peran dalam kehidupan ini. Biarkan anak-anak memilih peran profesi yang sesuai dengan panggilan jiwanya, yang menjadi minat terbesarnya. Jangan memaksa anak untuk berprofesi sesuai dengan cita-cita orang tuanya. Maka sebagai orang tua bimbinglah anak-anak untuk menjadi yang sangat dibutuhkan oleh orang lain melalui profesi yang mereka cintai, yang sesuai dengan panggilan hati nuraninya agar mereka bertanggung jawab untuk masa depannya sendiri. Bangunlah karakter anak mulai sejak dini, karena karakter kunci dari setiap kekuatan manusia, sedang kecerdasan akan tampak seiring proses pembelajaran yang diberikan oleh guru kehidupan disekelilingnya.
Pada akhirnya bila Indonesia ingin menjadi negara maju yang disegani, ubahlah sistem pendidikannya. Jadikan anak-anak bukan hanya sebagai makhluk “knowing” namun kembangkan mereka menjadi makhluk “being” yang berkarakter kuat. Kemudian, bangun kesadaran bagi guru/pendidik bahwa tugas mereka bukan hanya pemberi nilai tetapi lebih untuk mencetak para ahli.
Ingat tidak ada anak yang bodoh dan nakal, namun yang ada anak yang cerdas dan banyak akal. Tidak ada pula anak yang hiperaktif namun yang ada anak yang kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung :D
Sukses selalu dan Salam Hormat :)
*)